Keika aku sedang berselancar di media sosial. Aku melihat foto temanku di kolom temañ yang direkomendasikan. Dia sedang memegang anaknya disertai dengan ekspresi senyuman kebahagiaan.
Aku klik fotonya, sampailah di halaman profilnya. Aku lihat dia sudah berganti ganti pekerjaan. Semuanya di Perusahaan yang bonafit, dengan melihat jabatannya yang sekarang sebagai manager project pastilah penghasilannya sudah puluhan juta. Tabungannya juga mungkin ratusan juta atau bahkan milyaran.
Aku penasaran melihat foto fotonya. Ternyata dia menikah satu tahun setelah aku menikah. Istrinya lulusan UNS dan dianya lulusan ITB. Kampus bergengsi semua.
Aku tidak kuliah. Pekerjaanku pun hanya operator design grafis yang tidak benar benar membuat desain. Kebanyakan hanya melayout buku dan memperbaiki parts catalogue. Aku kira aku bukan designer grafis tapi layouter book. Karna pekerjaaan desainku bisa dihitung jari dalam setahun. Aku jadi tidak pro, karena jam terbangku rendah.
Aku melihat foto temanku sedang berfoto di area pembangunan yang sedang di cor. Meski apd nya lengkap tapi bajunya tetap bersih dan rapi. Menandakan dia hanya bertugas memerintah tanpa terjun langsung kepekerjaan pengecorannya itu.
Ya jelas, manager project. Aku jadi ingat perjalanan hidupku sejak lulus SMA. Aku bandingkan dengan perjalanan hidup dia sejak lulus SMA.
Aku dan dia sama-sama sekolah di smp dan sma bergengsi. Tapi ketika lulus dia kuliah dijurusan teknik sipil. Aku juga pengen kuliah di jurusan arsitektur. Tapi beda nasib.
Dia berhasil kuliah dengan di biayai orang tuanya. Sedangkan aku dilarang kuliah karena orang tuaku tak bisa membiayainya.
Akhirnya aku bekerja menjadi guru honorer di SD yang dulu aku duduki. Lalu jadi pelatih drama di sekolah sekolah yang membutuhkan pensi. Kemudian bekerja di cikarang sebagai suplier kimia. Lalu beralih menjadi marketing seminar pindah manjadi staff optimator web di NH media dan kini aku menjadi operator design di TVS.
Gajiku pas pasan. Ilmuku pas pasan. Gelarku tak ada. Dan umurku kini sudah hampir 28. Sepuluh tahun berlalu. Perjalanan hidupku tidak fokus disatu bidang dan tidak menempuh pendidikan yang layak.
Diumpamakan dia menanam bibit yang sama tiap tahun, merawatnya dan memanennya. Sedangkan aku menanam bibit yang berbeda tapi tidak merawatnya dan berubah ubah bibit terus. Sehingga tidak ada bibit yang unggul yang tumbuh menjadi tanaman yang unggul. Semuanya tercampur baur bersama dengan semak belukar, karena tak terurus.
Apa yang aku mulai tak ada yang benar-benar selesai sampai di puncak. Apa yang aku jalani tidak benar-benar aku dalami ilmunya sampai menjadi master. Dan jalur yang aku tempuh adalah jalur serabutan, tak terarah. Akhirnya aku jadi orang yang tertinggal tanpa ilmu yang mumpuni.
Aku menyesal, kenapa tak aku geluti saja satu bidang. Aku dalami ilmunya dan aku capai tahap tahap yang harus aku jalani sampai ke puncak. Pasti aku sudah ada di atas sekarang.
Memang, kesalahan ada di orang tuaku. Dari awal dia tidak bisa membiayaiku kuliah dan bahkan tidak membimbingku harus bagaimana. Orang tuaku hanya ingin aku jadi karyawan di PT bonafit seperti Toyota, Yamaha, Honda, Peruri dsb.
Padahal tinggiku tidak mencapai 165 saat itu. Hanya 163. Dan disana hanya kontrak 2 tahun tak akan jadi kartap. Harusnya dulu ayahku bekerja dengan benar dan mempersiapkan tabungan untuk anak-anaknya kuliah. Sehingga tidak diPHK dan punya cadangan dana. Atau menuruti ibuku untuk membeli sawah sehingga masih punya lahan produktif.
Tapi yang ada justru ibuku yang backup semua. Dia mati-matian pinjam sana pinjam sini untuk biaya sekolahku. Wajar jika dia tidak mau membiayai kuliahku yang pastinya lebih mahal.
Seharusnya aku dibiarkan saja berdagang. Jualan gorengan dan kolek di bulan Ramadhan. Tapi ibuku melarang. Bagi ibuku SMA adalah sekolah yang tinggi. Aku tidak pantas jualan gorengan.
Ah sudahlah. Masa lalu biarlah berlalu. Kata Ippho Santosa juga di dunia ini tidak ada yang ideal. Orang tua kita tidak ideal, lingkungan kita tidak ideal, bahkan diri sendiri juga tidak ideal. Justru kitalah yang harus berusaha mengidealkan diri.
Memang sepuluh tahun yang lalu aku sudah salah dari awalnya. Coba saja aku kuliah menggeluti bidang yang aku mau. Pastinya sekarang aku sudah bisa menyamai teman temanku, berada di puncak. Finansial bukan lagi masalah.
Kini aku punya kuasa sendiri. Tak ketergantungan pada orang tua. Aku hanya punya batasan di istri saja. Dan ekonomiku tidak mendukungku untuk bergerak cepat. Aku harus memanfaatkan apa apa saja yang gratisan dulu baru setelah itu lanjut ke yang berbayar untuk percepatan.
Tak apa-apa perlahan asalkan istiqomah, sampai aku mampu menuju jalan percepatan. Aku harus menanam bibit yang kecil-kecil dulu asalkan fokus pada satu bibit dan fokus untuk merawatnya sampai besar. Sabar dan fokus, hilangkan semua distraksi. Pandangan keadaan sekarqng lalu setting untuk menjadi seperti apa yang kita mau di masa depan.
Sampai jumpa di sepuluh tahun kedepan.